MUJAHID MUDA, CINTA JIHAD DAN RINDU SYAHID
Panggung sejarah berguncang pada 29 Mei 1453. Konstantinopel, benteng Romawi yang berabad kokoh tak bergeming akhirnya berhasil ditaklukkan oleh pasukan kaum Muslimin dalam penyerbuan satu malam.
Yang tak kalah menakjubkan, pasukan terbaik itu dikomando oleh “sebaik-baik pemimpin” yang baru berusia 21 tahun. Dialah Sultan Utsmani, Muhammad al Fatih. Sejarah juga banyak menjejak kisah tokoh belia yang tampil memukau. Usamah bin Zaid contohnya. Di usia 18 ia telah berdiri tegap sebagai panglima memimpin ekspedisi militer menghadapi super power Romawi. Atau kisah haru si belia Umair bin Abi Waqqash dan Samurah bin Jundub yang terisak sedih saat Rasulullah SAW menyisihkan mereka dari barisan perang. Betapa semangat jihad dan kecintaan mereka pada syahid begitu menggelora. Luar biasa.
Ada catatan menarik dari kehidupan Muhammad al Fatih. Sejak kecil telah ditanamkan dalam benaknya, dikukuhkan dalam tekadnya, dan dihunjamkan dalam keyakinannya, bahwa dialah sosok yang dijanjikan Rasulullah akan menaklukkan konstantinopel. Kekuatan ruhiyahnya juga amat hebat. Ia tak pernah absen melakukan shalat tahajjud sejak baligh.
BERMULA DARI DOA
Harapan agar generasi kita menjadi pribadi yang shalih, sosok pecinta jihad dan syahid kita awali dengan munajat kepada Allah Swt. Seperti doa yang dipanjatkan Nabi Zakaria dan Ibrahim ‘Alaihissalam agar dianugerahi keturunan yang shalih sebagai penerusnya dalam iqomatuddin. Bahkan Nabi Zakaria tak pernah letih dan kecewa meski karunia itu datang setelah ia tua (QS. Ali ‘Imran:38). Begitu pula Nabi Ibrahim yang hingga lanjut usia tetap berharap hadirnya buah hati yang shalih (QS. As-Shaffat: 100).
Bahkan untuk generasi selanjutnya agar menjadi umat yang tunduk patuh kepada Allah (QS. Al- Baqarah:128). Ibu dari Maryam sang wanita suci pun sampai menazarkan calon bayinya agar kelak menjadi orang yang berkhidmat di Baitul Maqdis (QS. Ali-‘Imran:35).
Keyakinan utuh akan kekuasaan Allah Swt memunculkan generasi yang lebih baik juga tercermin dalam doa Rasulullah untuk penduduk Tha’if yang telah menyakiti dan menolak dakwahnya. “Aku berharap kepada Allah agar kelak mengeluarkan dari sulbi mereka orang yang akan beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari). Kini kaum Muslimin juga senantiasa memanjatkan doa untuk generasinya agar menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa (QS. Al-Furqon : 74). Kita juga tentu saja bercita-cita agar buah hati kita menjadi generasi penegak Khilafah.
JAGA ASUPANNYA
Jihad fi sabilillah, puncak amal dengan balasan dahsyat. Setiap Muslim sejati akan mendambakan bisa meraih syahid. Bahkan digambarkan dalam sebuah riwayat, para syuhada itu ingin bisa hidup lagi untuk kembali berjihad dan merasakan nikmatnya syahid. Gerakan jiwa untuk melakukan amal shalih ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor kehalalan pada apa yang dikonsumsi (QS. Al- Mu’minun : 51). Halalan toyyiban adalah prinsip dasarnya. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an disebutkan keterkaitan ruhiyah dengan asupan halal dan baik yang Allah perintahkan. Seperti sifat taqwa (QS. Al-Maidah:88), syukur nikmat (QS. An-Nahl: 114 dan Al-Baqarah:172), dan kemampuan untuk tidak mengikuti langkah setan (QS. Al-Baqarah: 168).
Berikan perhatian khusus pada asupannya. Hindari sedini mungkin segala jenis makanan dan minuman yang haram atau syubhat (meragukan), baik dari unsur zatnya maupun cara mendapatkannya. Tak lupa mencermati kualitas dan kandungan nutrisinya. Karena menurut ahli gizi maupun pakar kesehatan, beberapa senyawa kimia yang kerap ditambahkan pada makanan dan minuman seperti pengawet, pewarna, penyedap, pemanis dan lainnya, bisa berdampak buruk bagi tubuh dan memicu perilaku negatif.
BERIKAN BEKALAN
Rasulullah Saw. memberi perhatian yang serius terhadap pembinaan bagi para mujahid muda. Beliau juga memfasilitasi arena dan ajang untuk melatih para pemuda agar siap berkiprah di kancah jihad. Selain melatih fisik dan membina ruhiyahnya, bekal pendidikan juga menjadi aspek penting. Pendidikan yang dimaksud tentulah dalam sistem Islam. Yakni lembaga pendidikan yang berorientasi pada misi untuk menyiapkan generasi penegak sistem Islam. Demikian pula pengayaan iptek untuk menjawab tantangan zaman.
Sejalan dengan itu peran keluarga khususnya orang tua juga sangat berpengaruh. Orang tua yang memiliki visi iqomatuddin akan mengkondisikan iklim keluarga yang harmonis.
Senantiasa memberi teladan semangat bergiat di jalan dakwah dan jihad. Seperti sosok ibunda para syuhada, Al Khansa dan Afra yang begitu bahagia dengan kesyahidan putra-putranya. Tak lupa memerhatikan lingkungan sosial yang baik, kondusif, serta mendukung pembentukan mental dan jiwa pejuang.
Upaya kita membina generasi mujahid yang cinta syahid semoga jadi bagian dari seruan Allah Swt dalam QS. Al-Anfal : 60, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya…”. Wallahu ‘alam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar